Rabu, 09 April 2014

TRAGEDI'98 - TRAGEDI TRISAKTI

MENGINGAT TRAGEDI’98
Oleh :





Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup saya bakal ikut memilih di Pemilu Legislatif pagi nanti, semua karena alasan pribadi. Pertama kali saya merusak surat suara alias golput itu saat menjadi pemilih pemula pada 1997, saat Orde Baru mulai hamil tua. Pilihannya cuma 2 parpol (PDI, PPP) dan 1 golongan (Golkar), butut semuanya! Dari sebelum nyoblos pun kita udah tau Golkar pemenangnya. Akhirnya pas masuk bilik suara, saya coblos ketiga logo partainya. Saya masih inget banget, bahkan surat suaranya warna kuning, Golkar!
Gak lama setelah pemilu, krisis moneter menghajar Indonesia! Dollar AS meroket, banyak PT bangkrut, ledakan pengangguran, masyarakat resah. Di kampus saya dulu, Univ Moestopo, mulai marak demo mahasiswa, semuanya gak boleh keluar kampus oleh polisi, mimbar bebas di kampus aja. Perlawanan mahasiswa kepada Soeharto yang sudah berkuasa otoriter selama 30 tahun itu bersifat gerilya, salah satunya via pers mahasiswa. Saat itu siapapun yg berani melawan Soeharto pasti akan digebuk habis-habissan atau diculik oleh tentara-tentara loyalisnya.

Kita selalu parno kalo setiap kali pulang kuliah melihat ada mobil Toyota Hardtop dg 4-5 orang intel gondrong parkir depan kampus. Karena cerita dari kawan2 kampus lain, para intel/tentara penculik para aktivis mahasiswa yg anti-Soeharto ini selalu naik Hardtop. Jenderal-jendral penjaga rejim Soeharto dulu adalah yang sekarang bercokol sebagai Presiden dan juga Capres sekarang ini (SBY, Wiranto, Prabowo, dsb). Prabowo yg saat itu Danjen Kopassus adalah juga mantu Soeharto, suami Titik, otomatis karirnya di militer meroket. Karena itu juga, Prabowo mendapat instruksi dari “atasan” untuk membentuk Tim Mawar yang terdiri dari anggota Kopassus, kerjaannya menculik aktivis-aktivis mahasiswa.
Mengapa diculik? Karena menurut si Maknyus (soeharto), para aktivis mahasiswa yg anti-Soeharto ini adalah “teroris”! Sudah gila dia! Padahal para aktivis mahasiswa ini hanya sekadar berseberangan pendapat dengan pemerintah, term “teroris” itu salah banget. Sekitar Feb ‘98 demo mahasiswa di berbagai daerah semakin masif, kerap bentrok dg polisi karena menuntut marching keluar kampus. Isyunya saat itu masih 1) Turunkan harga sembako, 2) Hapus KKN, 3) Reformasi Total, belum ada yg berani “Turunkan Soeharto!”.
Akhirnya tepat 12 Mei ‘98 bentrokan antara mahasiswa dg aparat terjadi di Univ. Trisakti, 5 mahasiswa ditembak mati aparat Orba. Media massa sejak pagi ramai memberitakan penembakan mahasiswa Trisakti ini, amarah masyarakat pun meletus kepada rejim Soeharto. Soeharto sedang melakukan kunjungan luar negeri ke Mesir saat itu, para aktivis dan mahasiswa bilang dia sedang ziarah ke Firaun . Saya dan kawan2 Moestopo yg lain pada 13 Mei 98 subuh berhasil menyusup ke kampus Trisakti yg sudah dijaga ketat tentara utk melayat. Suasana Trisakti saat itu diliputi duka yg sangat mendalam, darah bekas penembakan masih berceceran dimana-mana di dalam kampus.
Seluruh jenazah mahasiswa yg tewas pagi itu juga mulai dimakamkan keluarga masing-masing dan disiarkan di TV, kami di Trisakti nonton & sedih. Mimbar bebas yg digelar dalam kampus Trisakti di isi dengan orasi yang bercampur keringat, darah dan air mata. Bunga kematian terus berdatangan. Para tokoh seperti Amien Rais, Megawati, Permadi, Adnan Buyung mulai berdatangan ke Trisakti dan orasi di mimbar bebas, mendukung mahasiswa. Saya ingat sekali Soerjadi (Ketua PDI yg Pro-Soeharto) sempat datang ke Trisakti namun kemudian diusir dan ditimpukin massa mahasiswa .
Ketika mimbar bebas tengah berlangsung mendadak terjadi ledakan besar dg api membumbung tinggi dari samping kampus, semua orang tiarap! Ternyata kerumunan massa di luar kampus membakar Pom Bensin yang letaknya persis di samping kampus Trisakti. Mendadak kami yang di dalam kaget saat melihat lautan ratusan massa cepak-cepak sedang provokasi mahasiswa agar ikut keluar kampus, gabung dengan mereka. Aparat bersenjata lengkap yang menjaga gerbang Trisakti membentengi kami agar tidak ikut keluar kampus dan bergabung dg mereka. Untungnya mahasiswa-mahasiwa tidak ikut keluar saat itu dan bergabung, saya duga ada rencana untuk memfitnah gerakan mahasiswa saat itu. Karena gak lama kemudian massa yg semakin banyak jumlahnya itu mulai membakar mobil, motor, dan melakukan penjarahan, saya liat semuanya.
Ternyata kami dapat kabar kemudian kalo kerusuhan di depan Trisakti itu mulai menjalar ke berbagai tempat di Jakarta, sistematis, aneh! Menyadari kondisi Jakarta saat itu makin tidak terkendali, kami pun berpikir untuk keluar dari Trisakti lewat pintu belakang kampus. Mustahil keluar dari pintu depan, karena helikopter TNI terbang sangat rendah lengkap dengan beberapa sniper di dalamnya, yang coba kendalikan massa. Ketika berhasil keluar kampus Trisakti kami menyaksikan sebuah pemandangan yang baru untuk pertama kalinya seumur hidup kami saksikan… Ribuan massa berteriak histeris membakari mobil2/motor2 yg lewat di sepanjang jalan dan membobol toko-toko serta menjarahi isinya .

Rute kami adalah berjalan kaki dari Trisakti ke Moestopo lewat belakang motong JDC, Pejompongan, Senayan, semuanya dibakar dan gosong! Gak sedikit warga yg mendorong trolley dengan isi jarahan di dalamnya, belum lagi ratusan sinterklas dadakan yg menenteng karung jarahan. Kami yg sedih melihat semua pemandangan chaos ini kemudian berpikir, “apakah ini yang namanya revolusi? Sebrutal ini?”
Long march yg sebenernya sangat jauh jika Jakarta dalam keadaan normal membuat langkah kami semakin berat, ada kematian, ada kerusuhan. Ketika akhirnya sampai di kampus Moestopo kami naik ke lantai teratas dg maksud memantau kondisi Jakarta dari sana, luar biasa gila! Asap hitam tebal mengepul dimana-mana sejauh mata memandang, Jakarta lumpuh dan hangus hanya dalam bbrp jam saja. Saat itu kami mulai mendengar rumor ABRI (termasuk polisi) telah terpecah, satu berpihak kepada Panglima TNI Wiranto & Pangkostrad Prabowo. Isyu kudeta dari tentara pun mulai berseliweran dari mulut ke mulut para aktivis, apalagi saat itu Soeharto sedang di luar negeri. Keputusan teraman bagi kami saat itu adalah tetap bertahan dan bermalam di dalam kampus, aparat sedang melakukan pembersihan dimana-mana.
Soeharto kabarnya mendarat lagi di Halim Perdanakusuma pada 14 Mei 98 pagi dari Mesir dan mendapati kota dlm keadaan terbakar habis! 14 Mei 98 juga ketika kerusuhan masuk hari ke-2, kami mendengar ada pertemuan rahasia di Makostrad antara tokoh masyarakat dg Prabowo. Yang hadir disana ada Setiawan Djodi, Adnan Buyung, Fahmi Idris, Bambang Widjajanto (kini wakil ketua KPK) dan Prabowo. Tujuannya bertanya! Wiranto yg saat itu menjabat Menhankam/Panglima TNI atau atasan Prabowo kemudian mendadak mencopotnya dari jabatan Pangkostrad. Ia diduga terlibat dalam penculikan aktivis, penembakan serta kerusuhan massal yg terjadi di Jakarta, itu kabarnya alasan pencopotannya.
Selain di Jakarta, kerusuhan, pembakaran dan penjarahan serupa juga terjadi Solo dan Medan, hingga kini pengusutannya tak pernah jelas. Menurut Tempo, kerusuhan 13-14 Mei 98 itu menelan korban 1.200 orang tewas, 44 pemerkosaan perempuan, kerugiannya Rp 2,5 triliun! 18 Mei 1998 sekitar siang/sore teman-teman mahasiswa bertemu Ketua DPR saat itu Harmoko dan menuntut agar Soeharto diturunkan secepatnya! Harmoko yg baru 3 bulan sebelumnya mencalonkan lagi Soeharto jadi presiden setelah didesak mahasiswa akhirnya setuju menurunkan Harto, aneh. Harmoko mengumumkan itu ke mahasiswa lewat speaker di Gd DPR dengan ditemani oleh Abdul Gafur, Syarwan Hamid, Ismail Hasan Metaurum. Malem harinya Panglima ABRI Wiranto via TV mematahkan pernyataan Ketua DPR tsb, dia masih bertahan membela Soeharto di saat2 terakhir. Harap maklum, Wiranto memang bekas ajudan militer Soeharto dulunya, namun tuntutan reformasi total mahasiswa gak bisa dibendung lagi. Melihat gelagat buruk Wiranto yg berniat menyelamatkan kekuasaan majikannya, kami mahasiswa lantas melakukan mobilisasi besar2an ke DPR. Karena kebetulan Moestopo yg paling terdekat dg Gedung DPR, maka ribuan mahasiswa kami pun mengosongkan kampus dan long march ke sana, edan!
Sampai di Gedung DPR kami berhadap-hadapan dengan ormas Pemuda Pancasila yang membentangkan spanduk besar “Kami Setia di Belakang Orde Baru.” Jreeng!!
Saat itu ribuan mahasiswa dari FKSMJ lainnya mulai berdatangan pula ke Gedung DPR, solidaritasnya sangat mengharukan saat itu. Occupied DPR! Karena melihat kekuatan mahasiswa Pro-Reformasi semakin banyak dari jam ke jamnya, akhirnya ratusan anggota PP pun mundur teratur . Teman-teman gerakan mahasiswa lainnya seperti Forkot pun ikut memobilisasi massa dan kami semuanya sepakat bertahan di DPR smp Soeharto mundur!!! Yang membanggakan, keesokan harinya elemen masyarakat lainnya juga ikut bergabung mendukung perjuangan teman2 mahasiswa .

Kawan2 LSM pro-dem, para dosen, cendekiawan, organisasi profesi apapun dapat dijumpai mendukung perjuangan para mahasiswa. 19 Mei ‘98 itu Ibu Pertiwi sedang hamil tua, rejim Orba sedang menghitung mundur menuju kematian, this is the countdown to extinction. Elit politik seperti Gus Dur, Cak Nur, dsb bertemu Soeharto, Presiden RI slm 32 tahun dan menyarankannya untuk mundur, ia coba bertahan. Kami yg berada di DPR terus melakukan mimbar bebas, orasi tanpa henti. Sesekali dengar rumor adanya sekelompok tentara loyalis Harto yang berniat memberondong habis mahasiswa dan membuang mayat-mayat mereka ke laut, agak mirip seperti Tragedi Tiananmen. Malam-malam suasana mencekam. Saya sempet mantau gerbang DPR dan teman-teman mempersiapkan password mengerikan. Kalo ada aba2 “Banjir” itu tandanya tentara2 menyerang!
Malam itu juga ayah saya yg cemas keadaan di DPR mantau via TV menelepon ke ponsel miliknya Ericsson GF388 yg saya “pinjam” saat itu. Sebuah perbincangan paling mengharukan dan intens dg ayah saya yg pastinya gak akan bisa saya lupakan seumur hidup. “Lebih baik kamu pulang ke rumah sekarang. Suasana berbahaya disana, kamu & kawan2 gak paham seberapa kejamnya tentara2 Soeharto” begitu yang ayah saya katakan. “Kamu semua gak mengalami Malari ‘74, Prabowo itu bla bla bla, Wiranto itu bla bla bla”.
Saya menyatakan tetap bertahan di DPR! Akhirnya saya dengar ayah saya menangis, untuk pertama kalinya saya mendengar dia menangis. Karena dia nangis saya malah jadi takut mati. Jujur saya takut setengah mati sebenarnya, kayaknya juga semua mahasiswa yang ada di DPR saat itu, apalagi tragedi 27 Juli baru 2 tahun sebelumnya. Malam 19 Mei 98 itu entah kenapa terasa berjalan lambat, sangat lambat, kita bisa rasakan detik demi detiknya di dalam sana. Sejauh mata memandang di DPR saat itu isinya mahasiswa & elemen masyarakat lainnya. Ada yg tidur di ruang anggota dewan, jalanan, dsb.
Sekitar jam 4 subuh, di saat ngantuk, mendadak kami semua dikejutkan oleh teriakan berantai yang bergema cukup keras: “BANJIIR!” Jreeng! Semua mendadak bangun, kalang kabut, sempat melihat bbrp orang terinjak di perutnya oleh mereka yang panik ini. Apakah kita akan mati? Semua yang pernah kita liat dan bayangkan ttg Tragedi Tiananmen seketika itu juga melintas, deretan truk bersirene panjang berbaris. Beberapa dari kami melihat bahwa gorong-gorong depan DPR telah dibongkar, satu batalyon anggota Kopassus akan masuk ke dlm lewat sana (rumor). Semua orang berdiri dan hanya bisa terdiam melihat dari kejauhan truk-truk bersirene itu, keringet deras bercucuran, gerbang sdh terbuka. Kalian tau apa yg terjadi berikutnya? Ternyata semua itu truk sapu otomatis pembersih sampah! Kondisi DPR memang kotor banget saat itu. Semua orang yg kaget akhirnya ketawa terpingkal-pingkal saat ngeliat truk-truk ini beneran menyapu jalanan & membuang gundukan sampah nasi bungkus! Itu salah satu kejadian paling mengerikan tapi tolol yang pastinya gak akan bisa dilupakan oleh semua yg hadir disana.
Hari itu juga kami dengar kabar Amien Rais bakal menggelar demo sejuta umat anti-Orba di Monas, efek psikologisnya bagus utk yg di DPR. Walau demo itu akhirnya dibatalin oleh Amien karena takut terjadi pertumpahan darah, tapi kebayar dg demo 500 ribu orang di Jogja. Lebih keren lagi demo di Jogja itu kita tonton di TV dipimpin lsg oleh Sri Sultan HB X, teman2 yg di DPR merasa, we’re not walk alone :)
Aksi besar-besaran lainnya juga terjadi di Bandung, Medan, Solo, dan sebagainya, tepat di Hari Kebangkitan Nasional 1998. Akhirnya menjelang sore kami di DPR dapat kabar kalo 14 menteri di kabinet Soeharto mengundurkan diri, ini bak upper cut buat Soeharto.
Kabarnya Wiranto sampai 3x bolak balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto, belom pernah terjadi dalam 32 taun soalnya. Akhirnya besok paginya, 21 Mei ‘98 jam 9 pagi, Soeharto menyatakan berhenti jadi Presiden RI dan menyerahkannya kepada Habibie. Saya yg nonton di TV layar besar DPR itu sempet ngerasain hening sekejap pas Soeharto menyatakan mundur, setelah itu..”BLAAAAR!”  Eforia! Semua mahasiswa saat itu di DPR teriak-teriak histeris, jumpalitan, nangis, bahkan sampai pada nyemplung kolam saking bahagianya, tidak bias saya lupakan!  Gak lama stlh itu Wiranto ngomong di TV: “ABRI akan tetap jaga keselamatan & kehormatan para mantan Presiden, termasuk Soeharto & keluarga!” Dan seketika itu juga teriakan hujatan dan sumpah serapah bagi Wiranto terdengar di seantero Gedung DPR, epic! Itulah sekelumit kisah  dari saya yg mengalami sendiri kejadian waktu itu kawan-kawan, terima kasih untuk atensinya.
Alasan saya mengapa akhirnya memutuskan utk MEMILIH hari ini adalah saya tidak rela para Penjahat HAM ini kembali berkuasa lagi! Lawan!
Mereka tidak menyumbang kejayaan apapun bagi Indonesia Raya tercinta, kawan-kawan. Jangan mau kembali ke MASA LALU, masa depan milik kalian!
Kisah perlawanan ‘98 belom selesai sampai turunnya Soeharto, masih ada kisah Semanggi I, II, dsb. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar